Selasa, 12 April 2011

PEMERINTAHAN INDONESIA

PEMERINTAHAN INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN

1.Latar Belakang

Jati diri suatu bangsa bukan saja dapat kita lihat dari bagaimana karakter pokok dari para warga bangsa, tetapi juga dari pilihan ideologi dan sistem pemerintahan yang dipilih oleh bangsa tersebut. Topik yang hendak saya bahas pada makalah ini adalah sistem pemerintahan demokratis-konstutusional bagaimanakah yang telah dirancang oleh the founding fathers dalam UUD 1945? Masalah sistem pemerintahan tersebut saya pandang perlu kita wacanakan kembali karena selama ini pemahaman kita tentang bentuk dan susunan pemerintahan negara hanyalah didasarkan pada sumber-sumber sejarah yang diragukan keotentikannya.

Setelah MPR-RI 1999-2004 melakukan amandemen UUD 1945 sebanyak 4 kali dalam kurun waktu 2 tahun dan menetapkan sistem pemerintahan presidensial sebagai sistem pemerintahan negara, perlu kita pertanyakan apakah sistem pemerintahan presidensial tersebut yang ditetapkan oleh pimpinan dan anggota BPUPK dan PPKI yang kemudian disahkan sebagai UUD 1945, Konstitusi Pertama NKRI? Kalau konstitusi suatu negara dapat diibaratkan sebagai rel yang akan membawa bangsa tersebut ke tujuan yang dicita-citakannya, apakah cita-cita para pendiri Negara bangsa untuk membentuk pemerintahan negara konstitusional yang demokratis serta yang sesuai dengan corak hidup bangsa dapat tercapai apabila rel tersebut setiap kali diubah arahnya dan dibelokkan? Kondisi itulah yang sedang dialami bangsa Indonesia saat ini setelah MPR mengadakan amandemen terhadap UUD 1945. Maka lebih simple lagi bisa dikatakan berbagai macam gaya sistem pemerintahan sudah diterapkan di Indonesia ini, namun hasilnya sangat tidak memuaskan karena rel sudah berbelok arah ( sistem yang dirancang oleh the founding father dalam UUD 1945).

BAB II
PEMBAHASAN

2.Sistem Pemerintahan Indonesia

Sejak UUD 1945 diberlakukan pada 18 Agustus 1945, konstitusi pertama tersebut telah ditafsirkan secara berbeda-beda oleh pemerintah yang menjalankannya. Antara 1945 sampai 1949 dan antara 1959 sampai 1966, UUD 1945 telah dilaksanakan dengan beberapa modifikasi dalam susunan pimpinan pemerintahan negara. Indonesia pernah menggunakan dual-executive sistem, dengan Presiden sebagai Kepala Negara dan perdana menteri sebagai Kepala Pemerintahan. UUD 1945 yang sama pernah ditafsirkan sebagai single-executive sistem, sesuai ketetapan Pasal 4 sampai 15 dan Presiden menjabat sebagai Kepala Negara serta sekaligus Kepala Pemerintahan.

Antara 1966 sampai 1998, berlaku sistem pemerintahan untuk negara integralistik dengan konsentrasi kekuasaan amat besar pada Presiden (too strong presidency). Sejak 2002, dengan berlakunya UUD 1945 hasil amandemen, berlaku sistem presidensial. Posisi MPR sebagai pemegang kedaulatan negara tertinggi dan sebagai perwujudan dari rakyat dihapus, dan badan legislatif ditetapkan menjadi badan bi-kameral dengan keuasaan yang lebih besar (strong legislative). Antara 1949 sampai 1959 Indonesia menggunakan sistem pemerintahan parlementer yang terbukti tidak mampu menciptakan stabilitas pemerintahn yang amat diperlukan untuk pembangunan bangsa, karena dalam waktu 4 tahun terjadi 33 kali pergantian kabinet (Feith, 1962 dan Feith, 1999).

Gerakan reformasi yang diawali di beberapa kampus utama di seluruh Indonesia, adalah upaya untuk mengadakan penataan kembali berbagai aspek kehidupan masyarakat di bidnag politik, ekonomi, hukum dan sosial. Tujuan utama gerakan reformasi 1998 dalam bidang politik adalah meningkatkan demokratisasi kehidupan politik dan perbaikan hubungan politik. Karena itu salah satu agenda utama reformasi politik adalah mengadakan amademen terhadap UUD 1945 untuk meningkatkan demokratisasi hubungan politik antara penyelenggara negara dengan rakyat, dan menciptakan distribusi kekuasaan (distribution of power) yang lebih efektif antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif, maupun antara pemerintah pusat dan pemrintah daerah untuk menciptakan mekanisme check and balances dalam proses politik.

Sebetulnya Gerakan Reformasi tersebut merupakan momentum yang amat baik bagi MPR sebagai lembaga pemegang kekuasaan tertinggi untuk mengadakan amendemen UUD 1945 untuk menciptakan sistem pemerintahan negara yang lebih dapat menjamin kehidupan politik yang lebih demokratis. Sayangnya peluang emas tersebut tidak dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Bahkan sebaliknya, amandemen UUD 1945 telah menghasilkan sistem pemerintahan baru, Sistem Presidensial, yang menyimpang dari bentuk dan susunan negara kekeluargaan yang merupakan salah satu staats fundamental norm sistem pemerintahan Indonesia.

Tujuan gerakan reformasi 1998 bukannya tercapai, malahan sebaliknya UUD 1945, hasil amandemen tahun 2002 bahkan telah menimbulkan kompleksitas baru dalam hubungan eksekutif dan legislative, bila presiden yang dipilih langsung dan mendapat dukungan popular yang besar tidak mampu menjalankan pemerintahannya secara efektif karena tidak mendapat dukungan penuh dari koalisi partai-partai mayoritas di DPR. Political gridlocks semacam itu telah diperkirakan dan karenanya ingin dihindari oleh para perancang UUD 1945, hampir 6 dekade yang lalu, sehingga akhirnya tidak memilih sistem presidensial sebagai sistem pemerintahan untuk negara Indonesia yang baru merdeka. (Setneng RI, 1998 dan Kusuma, FH-UI, 2004).

Setelah MPR mengesahkan amandemen ketiga dan keempat UUD 1945, sistem pemerintahan negara Indonesia berubah menjadi sistem presidensial. Perubahan tersebut ditetapkan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 ( amandemen ). MPR tidak lagi merupakan perwujudan dari rakyat dan bukan locus of power, lembaga pemegang kedaulatan negara tertinggi.

Pasal 6A ayat (1) menetapkan “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”. Dua pasal tersebut menunjukkan karakteristik sistem presidensial yang jelas berbeda dengan staats fundamental norm yang tercantum dalam Pembukaan dan diuraikan lebih lanjut dalam Penjelasan UUD 1945.

Apakah amandemen pasal 1 ayat (2) dan pasal 6A, yang merupakan kaidah dasar baru sistem pemerintahan negara Indonesia, akan membawa bangsa ini semakin dekat dengan cita-cita para perumus konstitusi, suatu pemerintahan konstitusional yang demokratis, stabil dan efektif untuk mencapai tujuan negara?

Apakah sistem pemerintahan negara yang tidak konsisten dengan harapan para perancang konstitusi seperti tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 akan menjamin kelangsungan kehidupan bernegara bangsa Indonesia?

Ternyata tafsiran Pasca Amandemen UUD 1945, yang dibentuk MPR, tentang sistem pemerintahan negara berbeda dengan pemikiran dan cita-cita para perancang Konstitusi Pertama Indonesia. Bila dipelajari secara mendalam notulen lengkap rapat rapat BPUPK sekitar 11 – 15 Juli 1945 dan PPKI pada 18 Agustus 1945 yang terdapat pada Arsip A.G. Pringgodigdo dan Arsip A.K. Pringgodigdo (Arsip AG-AK-P), kita dapat menyelami kedalaman pandangan para founding fathers tentang sistem pemerintahan negara.

Arsip AG-AK-P yang selama hampir 56 tahun hilang baru-baru ini diungkapkan kembali oleh R.M. Ananda B. Kusuma, dosen Sejarah Ketatanegaraan Fakultas Hukum U.I., dalam sebuah monograf berjudul “Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945” terbitan Fakultas Hukum U.I. (2004). Kumpulan notulen otentik tersebut memberikan gambaran bagaimana sesungguhnya sistem pemerintahan demokratis yang dicita-citakan para perancang Konstitusi Indonesia. Notulen rapat-rapat BPUPKI dan PPKI mulai pertengahan Mei sampai Juli 1945 memberikan gambaran betapa mendalam dan tinggi mutu diskusi para Bapak Bangsa tentang sistem pemerintahan.

Pada sidang-sidang tersebut, Prof. Soepomo, Mr. Maramis, Bung Karno dan Bung Hatta mengajukan pertimbangan-pertimbangan filosofis dan hasil kajian empiris untuk mendukung keyakinan mereka bahwa Trias Politica ala Montesqieue bukanlah sistem pembagian kekuasaan yang paling cocok untuk melaksanakan kedaulatan rakyat.

Pada rapat Panitia Hukum Dasar, bentukan BPUPKI, tanggal 11 Juli 1945 dicapai kesepakatan bahwa Republik Indonesia tidak akan menggunakan sistem parlementer seperti di Inggris karena merupakan penerapan dari pandangan individualisme. Sistem tersebut dipandang tidak mengenal pemisahan kekuasaan secara tegas. Antara cabang legisltatif dan eksekutif terdapat fusion of power karena kekuasaan eksekutif sebenarnya adalah „bagian“ dari kekuasaan legislatif. Perdana Menteri dan para menteri sebagai kabinet yang kolektif adalah anggota parlemen.

Sebaliknya, sistem Presidensial dipandang tidak cocok untuk Indonesia yang baru merdeka karena sistem tersebut mempunyai tiga kelemahan. Pertama, sistem presidensial mengandung resiko konflik berkepanjangan antara legislatif – eksekutif. Kedua, sangat kaku karena presiden tidak dapat diturunkan sebelum masa jabatannya berahir. Ketiga, cara pemilihan “winner takes all” seperti dipraktekkan di Amerika Serikat bertentangan dengan semangat demokrasi.

Indonesia yang baru merdeka akan menggunakan „sistem sendiri“, sistem yang mengandung karakteristik sistem presidensial dan parlementer disebut Sistem Semi-Presidensial. Sistim pemerintahan demokratis yang dirumuskan oleh para perancang UUD 1945 mengandung beberapa ciri sistem presidensial dan sistem parlementer. “SISTEM SENDIRI” tersebut mengenal :

* Pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang legislatif dan eksekutif, yang masing-masing tidak boleh saling menjatuhkan,
* Presiden adalah eksekutif tunggal yang memegang jabatan selama lima tahun dan dapat diperpanjang kembali,
* Para menteri adalah pembantu yang diangkat dan bertanggungjawab kepada presiden.

Pada masa-masa awal negara Indonesia, para perancang memandang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung masih belum dapat dilakukan mengingat tingkat pendidikan masih rendah serta infrastruktur pemerintahan belum tersedia. Karena itu ditetapkan Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara tidak langsung oleh lembaga perwujudan seluruh rakyat yaitu MPR Presiden yang menjalankan kekuasaan eksekutif adalah mandataris MPR, sedangkan DPR adalah unsur dari MPR yang menjalankan kekuasaan legislatif (legislative councils).

* Presiden tidak dapat menjatuhkan DPR, sebaliknya DPR tidak dapat menjatuhkan Presiden.
* Bersama-sama Presiden dan DPR menyusun undangundang.

Pada notulen rapat tanggal 11-15 Juli BPUPKI dan rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945 dapat kita ikuti perkembangan pemikiran tentang kedaulatan rakyat yang dilaksanakan oleh Majelis Permusyawartan Rakyat sebagai penjelmaaan dari seluruh rakyat Indonesia yang memiliki konfigurasi sosial, ekonomi dan geografis yang amat kompleks. Karena itu MPR harus mencakup wakil-wakil rakyat yang dipilih, DPR, wakil-wakil daerah, serta utusan-utusan golongan dalam masyarakat. Dengan kata lain,MPR harus merupakan wadah multi-unsur, bukan lembaga bi-kameral.

Bentuk MPR sebagai majelis permusyawaratan-perwakilan dipandang lebih sesuai dengan corak hidup kekeluargaan bangsa Indonesia dan lebih menjamin pelaksanaan demokrasi politik dan ekonomi untuk terciptanya keadilan sosial, Bung Hatta menyebutnya sebagai ciri Demokrasi Indonesia. Dalam struktur pemerintahan negara, MPR berkedudukan sebagai supreme power dan penyelenggara negara yang tertinggi. DPR adalah bagian dari MPR yang berfungsi sebagai legislative councils atau assembly. Presiden adalah yang menjalankan tugas MPR sebagai kekuasaan eksekutif tertinggi, sebagai mandataris MPR. Konfigurasi MPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi tersebut dipandang para Bapak Bangsa sebagai ciri khas Indonesia dan dirumuskan setelah mempelajari keunggulan dan kelemahan dari sistem-sistem yang ada.

Sistem majelis yang tidak bi-kameral dipilih karena dipandang lebih sesuai dengan budaya bangsa dan lebih mewadahi fungsinya sebaga lembaga permusyawaratan perwakilan. Karena Arsip AG-AK-P yang merupakan sumber otentik tentang sistem pemerintahan negara baru saja terungkap, mungkin saja MPR, ketika mengadakanamandemen UUD 1945, tidak memiliki referensi yang jelas tentang sistem pemerintahan sebagaimana ditetapkan dalam UUD 1945. Kalau pemikiran para perancang konstitusi tentang kaidah dasar dan sistem pemerintahan negara sebagaimana tercatat pada notulen otentik tersebut dijadikan referensi, saya yakin bangsa Indonesia tidak akan melakukan penyimpangan konstitusional untuk ketiga kalinya. Susunan pemerintahan negara yang mewujudkan kedaulatan rakyat pada suatu Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam pandangan Bung Karno adalah satu-satunya sistem yang dapat menjamin terlaksananya politiek economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial.

Sebagai penjelmaan rakyat dan merupakan pemegaang supremasi kedaulatan, MPR adalah penyelenggara pemerintahan negara tertinggi, “pemegang” kekuasaan eksekutif dan legislatif. DPR adalah bagian dari MPR yang menjalankan kekuasaan legislatif sedangkan Presiden adalah mandataris yang bertugas menjalankan kekuasaan eksekutif. Bersama-sama, DPR dan Presiden menyusun undang-undang. DPR dan Presiden tidak dapat saling menjatuhkan seperti pada sistem parlementer maupun presidensial. Sistem semi-presidensial tersebut yang mengandung keunggulan sistem parlementer dan sistem presidensial dipandang mampu menciptakan pemerintahan Negara berasaskan kekeluargaan dengan stabilitas dan efektifitas yang tinggi.

Berbeda dengan pemikiran BPUPK dan PPKI sebagai perancang konstitusi, para perumus amandemen UUD 1945, karena tidak menggunakan sumber-sumber otentik, serta merta menetapkan pemerintahan negara Indonesia sebagai sistem presidensial. Padahal pilihan para founding fathers tidak dilakukan secara gegabah, tetapi didukung secara empiris oleh penelitian Riggs di 76 negara Dunia Ketiga, yang menyimpulkan bahwa pelaksanaan sistem presidensial sering gagal karena konflik eksekutif – legislative kemudian berkembang menjadi constitutional deadlock. Karenanya sistem presidensial kurang dianjurkan untuk negara baru.

Notulen otentik rapat BPUPK dan PPKI menunjukkan betapa teliti pertimbangan para Pendiri Negara dalam menetapkan sistem pemerintahan negara. Pemahaman mereka terhadap berbagai sistem pemerintahan ternyata sangat mendalam dan didukung oleh referensi yang luas, mencakup sebagian besar negara-negara di dunia.

Mungkin penjelasan Prof. Dr. Soepomo pada rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945, beberapa saat sebelum UUD 1945 disahkan, dapat memberi kita gambaran tentang sistem pemerintahan khas Indonesia yang dirumuskan oleh para perancang konstitusi:

“Pokok pikiran untuk Undang Undang Dasar, untuk susunan negara, ialah begini. Kedaulatan negara ada ditangan rakyat, sebagai penjelmaan rakyat, di dalam suatu badan yang dinamakan di sini: Majelis Permusyawaratan Rakyat. Jadi Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah suatu badan negara yang memegang kedaulatan rakyat, ialah suatu badan yang paling tinggi, yang tidak terbatas kekuasaannya. Maka Majelis Permusyawaratan Rakyat yang memegang kedaulatan rakyat itulah yang menetapkan Undang Undang Dasar, dan Majelis Permusyawaratan itu yang mengangkat Presiden dan Wakil Presiden. Maka Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan garis-garis besar haluan negara …

Presiden tidak mempunyai politik sendiri, tetapi mesti menjalankan haluan negara yang telah ditetapkan, diperintahkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Disamping Presiden adalah Dewan Perwakilan Rakyat … badan yang bersama-sama dengan Presiden, bersetujuan dengan Presiden, membentuk Undang-Undang, jadi suatu badan legislatif … „

Demikianlah pokok-pokok fikiran para perancang UUD 1945 tentang susunan pemerintahan negara yang dipandang mampu mengatasi ancaman diktarorial partai pada sistem parlementer atau bahaya „political paralysis “ pada sistem presidensial, apabila presiden terpilih tidak didukung oleh partai mayoritas yang menguasai DPR. Para penyusun konstitusi menamakannya „Sistem Sendiri“. Ahli politik menamakannya sistem semi-presidensial. Bahkan Indonesia, menurut Blondel, pernah menerapkan sistem semipresidensial eksekutif ganda (semi-presidential dualist model) pada masa-masa awal dengan adanya Presiden sebagai Kepala Negara dan Perdana Menteri sebagai Kepala Pemerintahan.

Para perancang konstitusi seperti Prof. Soepomo sudah mengingatkan kita semua, untuk memahami konsitusi tidak cukup hanya dibaca dari yang tertulis pada pasal-pasalnya, tapi harus diselami dan difahami jalan fikiran para perancangnya serta konteks sejarah yang melingkunginya.


3. Kesimpulan


Sekarang semakin jelas bukti-bukti yang menujukkan bahwa amandemen sistem pemrintahan negara Indonesia yang dilakukan oleh MPR telah meyimpang dari rancangan asli para perumus konstitusi yang berlandaskan pada kaidah dasar Negara kekeluargaan, negara yang berkedaulatan rakyat, serta penyelenggaraan demokrasi sosial ekonomi untuk mencapai kesejahteraan sosial, sebagaimana dicantumkan pada Pembukaan UUD 1945.

Karena itu tujuan reformasi untuk meluruskan dan memurnikan pelaksanaan UUD 1945 dapat dipastikan tidak akan tercapai bila tidak dilakukan upaya-upaya pemurnian kembali UUD 19945 sesuai dengan staats fundamental norm nya yang semula. Karena itu salah satu agenda pokok yang perlu dilakukan oleh Presiden terpilih ( 2009 ) setelah pelantikan adalah mengambil langkah-langkah untuk mengembalikan kemurniaan UUD 1945 sesuai dengan kaidah fundamentilnya. Pemurnian UUD 1945 agaknya tidak mungkin dilakukan oleh MPR hasil Pemilu 2004 karena MPR yang bi-kameral tersebut bukan lembaga pemegang kedaulatan rakyat. Salah satu langkah konstitusional yang dapat ditempuh adalah meminta persetujuan rakyat untuk memurnikan UUD 1945 melalui referendum. Terakhir dapat saya pastikan ketika sitem pemerintahan yang ada sekarang yaitu presidensial tidak berhasil pasti sistem pemerintahan Indonesia akan berganti lagi dan nasib rakyat pasti diabaikan.


DAFTAR PUSTAKA


·         Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakartra, Mahkamah Konstitusi Indonesia dan PSHTN, Fakultas Hukum, Univesitas Indonesia, 2004.
·         Imawan, Riswanda, Partai Politik Di Indonesia: Pergulatan Setengah Hati Mencari Jati Diri. Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada, 2004
·         http://indolisme.blogspot.com/2009/02/makalah-sistem-pemerintahan-indonesia.html


Tidak ada komentar:

Posting Komentar